Rumah Kenanganku
Rumah
berlantai dua itu terletak di ujung jalan dan
berhadapan dengan sebuah masjid. Cat yang melapisi seluruh dinding dan
pagarnya berwarna merah jambu. Ukurannya tidak terlalu besar namun cukup
leluasa sebagai tempat bernaung kami sekeluarga. Di sanalah aku menghabiskan
beberapa tahun dari masa kecilku. Berjuta kenangan tersimpan di sana mulai dari
yang indah hingga pedih. Itulah mengapa di usiaku yang menginjak dua puluh lima
tahun sekarang ini aku masih mengingat dengan jelas setiap sudut rumah itu.
Tetangga-tetangga
yang ketika itu tinggal di sekitarnya pun tidak lepas dari ingatanku meski
samar. Itu tidak mengherankan karena saat pindah ke rumah itu aku masih berusia
dua tahun. Selama kurang lebih empat tahun aku tinggal di sana dan sempat pula
bersekolah di TK dan SD sebelum orang tuaku pindah ke Subang. Ketika itu aku
baru berusia enam tahun dan bersekolah di kelas satu SD. Masih kuingat letak
sekolah dasarku yang cukup jauh dari rumah sehingga harus ditempuh dengan
mobil.
Pelajaran
di sekolah dasarku waktu itu dimulai pada pukul tujuh pagi dan selesai pukul
sebelas. Namun seringkali aku tidak bisa langsung pulang setelah pelajaran
usai. Aku masih harus menunggu orang tuaku menjemput . Biasanya aku menunggu di
lahan parkir sekolah yang cukup luas sambil bermain dengan beberapa teman yang
juga sedang menunggu jemputan. Dua nama yang kuingat adalah Cecilia dan Meisca.
Keduanya adalah teman sekelasku.
Setelah
orang tuaku datang kami menempuh jarak beberapa kilometer yang membentang
antara sekolah dan rumah. Di sepanjang perjalanan banyak terdapat pertokoan
sehingga tidak jarang kami mampir di salah satu toko untuk berbelanja. Aku
paling senang jika diajak ke toko kue. Disana aku bisa membeli berbagai cemilan
yang enak. Di antara jajanan yang sering kubeli saat itu kue favoritku adalah
cheese roll, kue yang terbuat dari keju yang digulung dengan kulit pie. Rasanya
gurih sehingga saat itu aku tidak bisa hanya makan satu. Pasti tiga atau bahkan
lima buah bisa kuhabiskan pada waktu itu.
Kembali
ke rumah. Rumahku memiliki sepasang pintu gerbang yang terbuat dari besi
berteralis. Aku sangat menyukai modelnya. Teralis-teralis itu berbentuk seperti
sulur tanaman yang cantik. Gerbangnya lebar dan memiliki beberapa engsel
sehingga bisa dilipat untuk membukanya. Gerbang itu langsung membuka ke garasi
yang berlantai merah hati. Di samping garasi ada taman kecil yang terpisah dari
jalan di depan rumah dengan pagar besi yang kira-kira tingginya dua meter.
Taman
kecil berbentuk segi empat itu berisi aneka tanaman hias. Tanaman yang kuingat
antara lain suplir yang ditaruh di sisi taman yang dekat dengan beranda. Lidah
buaya dengan daunnya yang panjang-panjang mendominasi hamparan rumput di tengah
taman. Lalu ada pula tanaman mawar yang menjulang setinggi pagar. Tanaman
berbatang ramping dengan bunganya yang merah itu tumbuh di dekat pagar yang berbatasan
dengan jalan. Aku yang ketika itu masih kecil sering ingin memetiknya, namun
dengan tubuh yang masih pendek kala itu aku tidak bisa menjangkau bunga yang
tumbuh di bagian atas. Belum lagi durinya yang tampak jelas sering membuatku
ngeri sehingga aku tidak jadi memetiknya.
Di
belakang taman ada sebuah beranda yang dinaungi atap. Seperti juga garasi
beranda rumahku berlantai keramik berwarna merah hati. Beranda itu tidak
seberapa lebar. Kira-kira hanya satu meter lebih sedikit. Beranda itu langsung
berbatasan dengan pintu masuk yang terbuat dari kayu berpelitur coklat
kemerahan dengan kaca-kaca bening berbentuk persegi. Jadi dapat dikatakan bahwa
pintu itu berkotak-kotak. Kemudian di dinding sepanjang beranda yang
bersebelahan dengan pintu ada deretan jendela tinggi. Dari sanalah sinar
matahari bisa menyorot ke dalam rumah.
Saat
memasuki rumah terjadi pergantian warna lantai dari teras yang berlantai merah
hati ke ruang depan yang lantainya berlapis keramik warna putih berkilat. Membelok
sedikit ke kiri akan ada akuarium di ujung ruangan. Sedangkan bila berjalan
lurus ada satu set sofa berwarna merah hati yang ditata memenuhi ruangan. Dan
di dindingnya terlihat hiasan rumah-rumahan dari kayu dengan hiasan
patung-patung kecil dari kuningan.
Akuarium
yang menghadap ke ruang tamu itu berukuran besar. Sebenarnya itu adalah lemari
berlaci, hanya saja di bagian atasnya berupa akuarium. Biasanya lemari itu digunakan untuk menyimpan
koleksi majalahku yang tidak terhitung banyaknya. Sejak aku menginjak usia
setahun pada tahun 1990 ibuku memang telah rajin berlangganan majalah
anak-anak.
Ketika
itu aku mulai diperkenalkan pada gambar-gambar lucu di dalamnya kendati aku
belum mengerti. Aku malah bertindak destruktif dengan merobek-robeknya. Namun
seiring datangnya pengertian di usia-usia selanjutnya tindakan ibuku itu mulai
menunjukkan manfaatnya. Gambar-gambar itu menjadi sebuah motivasi bagiku untuk
belajar membaca. Pada puncaknya pada usia empat tahun aku mulai bisa membaca
kata-kata pendek. Kemudian diikuti dengan kalimat-kalimat. Lama kelamaan
rangkaian tulisan yang ada di buku dan majalah mulai menunjukkan pesonanya. Itulah
yang mendorongku menekuni hobi menulis hingga kini.
Selain
majalah, benda lain yang biasanya disimpan di lemari akuarium adalah alat-alat
perlengkapan akuarium, batu-batu karang, dan makanan ikan. Dulu ayahku selalu
memberi makan ikan secara teratur di sela-sela kesibukannya. Namun bila beliau
tidak sempat pembantu kamilah yang mengambil alih tugas itu.
Aku
masih ingat bahwa kami pernah memelihara kura-kura di sana. Hewan mungil berwarna
hijau dengan tempurung di punggungnya itu kerap terlihat berenang-renang
bersama ikan-ikan lain yang turut dipelihara di sana. Di saat-saat beristirahat ia selalu berbaring di
aerator yang terletak di bagian atas tepat di bawah tutup akuarium.
Selain
kura-kura ada pula beragam jenis ikan. Ada ikan sapu-sapu yang gemar menempel
di kaca sambil menyedot lumut-lumut berukuran mikroskopik yang menempel. Ikan
itu berwarna hitam. Selain ikan yang seperti vacuum cleaner itu ada pula
beberapa ekor ikan maskoki yang lucu. Bentuk tubuhnya bulat dan gemuk dengan
dua mata bulat sehingga nampak menggemaskan.
Kesan itu diperkuat dengan warna jingga berkilat di seluruh tubuhnya yang bersisik. Ikan
terbesar yang ada di akuariumku adalah seekor ikan mas sepanjang kurang lebih
lima belas sampai dua puluh sentimeter. Warna tubuhnya putih keperakan sehingga
tampak cantik bila tersorot lampu akuarium. Mereka adalah ikan hias favoritku.
Namun
bukan mereka saja. Ada juga sekumpulan ikan kecil, kira-kira sepanjang dua
sentimeter. Warna dasarnya biru dengan
garis-garis aneka warna. Mereka selalu senang bergerombol. Ke sana kemari
mereka selalu beriringan dengan gerakan yang gemulai. Gerakan mereka selalu
tenang sehingga terkesan rukun. Aku sering berpikir apakah di antara mereka
tidak pernah ada perselisihan?
Tepat di
seberang akuarium terdapat seperangkat sofa untuk menerima tamu. Sofa-sofa yang
berlapis kulit warna merah hati itu ditata mengelilingi sebuah meja yang di
atasnya terletak sebuah buket bunga berisi mawar-mawar plastik berwarna merah.
Lantai di ruangan ini beralas karpet merah berbulu panjang. Ketebalan karpet itu akan membuat kaki
siapapun yang berdiri di atasnya tenggelam di antara bulu-bulunya. Sedangkan di
langit-langit ruangan tergantung lampu kristal yang cantik. Bila lampu
dinyalakan permukaannya akan tampak berkilau warna-warni.
Beralih
ke ruang keluarga. Tidak ada sekat yang membatasi ruangan ini dengan ruang
depan dan dapur sehingga lantai satu rumahku ini terlihat lapang. Tidak jauh di bagian samping akuarium berdiri
sebuah lemari pajangan besar berwarna merah hati, senada dengan warna sofa-sofa
yang terletak di ruang tamu. Boneka-boneka Hello Kitty, anjing pudel, beruang,
dan lain-lain terpajang di balik kaca lemari. Di bagian tengah lemari ini
terdapat lubang persegi seukuran televisi. Televisi dan seluruh perangkatnya
diletakkan di situ. Lantai ruangan ini juga beralas karpet merah yang nyaman.
Dua buah bantal besar bergambar putri Tiongkok biasa diletakkan di atas karpet
sehingga siapapun dapat menonton TV dengan nyaman sambil berbaring di karpet.
Dan bila bosan menonton TV ia bisa melihat ke akuarium yang menyegarkan mata.
Pandangan ke taman di luar jendela pun bisa dilakukan dari ruangan itu.
Di sisi
ruang keluarga terletak sebuah pintu menuju kamarku. Sebagaimana
ruangan-ruangan lain di dalam rumah kamarku juga bercat merah jambu. Hampir
semua barang di dalam kamar juga berwarna senada. Nuansa merah jambu dipilih
karena merah jambu adalah warna favorit ibuku. Perabotan di dalam kamar ini
biasa saja namun dapat mengakomodasi kebutuhanku sebagai seorang pelajar.
Di
tengah salah satu sisi ruangan terletak sebuah tempat tidur. Sejak aku mulai
tinggal di sana hingga saat pindah tempat tidurku telah dua kali mengalami
perubahan. Pertama adalah tempat tidur biasa yang terbuat dari kayu yang
dipelitur. Cukup lama juga aku menggunakannya hingga orang tuaku membelikan
tempat tidur baru pada saat aku hendak masuk SD. Tempat tidurku yang kedua ini
lebih mewah. Bentuknya berupa spring bed yang berwarna merah jambu. Kedua orang
tuaku juga mengecat sebuah kursi dengan warna merah jambu untukku.
Ruang
keluarga di rumahku memanjang ke belakang. Di salah satu sisinya terdapat
tangga untuk naik ke lantai atas. Anak-anak tangga dan pagar yang terletak di
sisinya terbuat dari kayu berwarna coklat. Di seberang ruangan yang berhadapan
dengan tangga terdapat dapur kecil yang merangkap ruang makan. Sebuah meja
makan oval berwarna sama dengan tangga diletakkan di dekat dapur. Aku ingat di dapur
inilah ibuku sering memasak aneka masakan yang menggoyang lidah. Mulai dari
aneka jenis sup, balado teri, dan juga aneka kue seperti muffin, aneka cake,
sus, dan masih banyak lagi.
Di dapur
itu pula ibuku selalu memasak untuk makan bersama ibu-ibu tetangga. Ketika itu
setiap Minggu pagi selalu diadakan senam pagi bersama di halaman masjid yang
luas. Pesertanya yang kebanyakan adalah ibu-ibu itu selalu mengadakan acara
makan bersama setiap selesai senam. Acara tersebut diatur secara bergiliran.
Misalnya minggu ini ibuku yang mendapat giliran menyiapkan makanan. Maka pada
minggu berikutnya ibu-ibu lainlah yang mendapat giliran.
Masih
kuingat jelas bahwa saat itu ibuku biasa membuat chicken cream soup dan bubur
kacang hijau untuk dimakan bersama. Para tetanggaku saat itu sangat kompak. Aku
sendiri merasa kehilangan kebiasaan itu saat kemudian kami tidak tinggal di
sana lagi. Aku juga tidak tahu lagi apakah sekarang kebiasaan itu masih
berlanjut atau tidak. Juga apakah para tetangga itu masih tinggal di sana?
Tangga
kayu yang terletak di seberang dapur menuju ke lantai atas. Di bawah tangga itu
terdapat sebuah lemari kecil yang merupakan bagian dari tangga itu sendiri. Di
dalamnya tersimpan sepatu-sepatu yang biasanya kami pakai untuk bepergian. Baik
ke pasar, ke sekolah, atau ke kantor.
Sedangkan
bila kita menaiki tangga menuju ke atas kita akan disambut sebuah ruangan luas
dengan dua buah kamar yang berhadapan. Kedua kamar itu dipisahkan oleh kamar
mandi dan sebuah pintu menuju ke tempat jemuran. Ada sedikit kisah yang
misterius mengenai area ini. Ibu atau pembantuku selalu mencium wangi bunga
setiap kali melewati ambang pintu menuju ke tempat jemuran itu. Entah dari mana
asalnya bau itu, yang jelas bukan berasal dari pengharum ruangan ataupun cucian
yang akan dijemur. Bau itu hanya tercium di tempat itu setiap kali ada orang
melintasinya. Hingga saat pindah aku tidak pernah tahu dari mana asal aroma
bunga tersebut.
Satu
lagi hal yang tidak pernah bisa kulupakan dari lantai dua rumahku itu. Sebuah
tangga kayu yang menuju ke ruangan kecil di bawah atap terletak di sana. Tepatnya
di depan kamar yang bersebelahan dengan tempat jemuran. Di ruang kecil yang
digunakan sebagai gudang itu terdapat sebuah jendela lebar dimana kita dapat
memandang rumah-rumah sekitarku, bahkan hingga jarak yang jauh.
Semua
itu merupakan bagian dari kenangan indah di masa kecilku. Serangkaian gambaran
penuh warna-warni yang selalu abadi di dasar memori kendati sudah lama kami
meninggalkan rumah itu untuk tinggal di tempat lain. Tidak jarang
cuplikan-cuplikan kenangan itu muncul kembali baik di dalam mimpi maupun dalam
kilas balik yang menimbulkan kerinduan. Siapapun pasti akan merindukan sesuatu
yang berarti baginya, tidak terkecuali aku sendiri. Khususnya kenangan akan
sebuah rumah dimana kita bernaung dan menghabiskan sebagian besar waktu kita dalam
kehidupan sehari-hari.