Mata Hatiku

Hai! Namaku Chrysanova. Selamat datang dib log Mata Hatiku. Blog ini dibuat untuk menampung beberapa tulisanku sekalian buat “pamer”,hehehe. Buat kalian yang udah repot-repot datang,kenapa nggak kalian sumbangin komentar biar ke depannya kita semua bisa nikmatin cerita yang lebih bagus di sini. OK,segitu aja dari aku. Selamat membaca ya. Thanks a lot.

Guest Book

click here to fill it

Kamis, 27 Oktober 2011

Cerita Q (2)


Tentu bukan itu saja pengalaman yang menandai akhir dari penglihatan normalku. Pernah pula aku terjatuh di jalan menuju kelasku. Jalan yang membentang mulai dari gerbang sekolah hingga ke pintu yang mengarah ke koridor-koridor di depan ruangan-ruangan kelas itu berlapis aspal sehingga sangat mulus untuk dilewati kendaraan. Namun tidak begitu halnya saat bersentuhan dengan kulit manusia. Aku yang terhuyung-huyung menahan berat tasku mendadak terhempas jatuh. Penyebabnya sama, kehilangan keseimbangan. Dan lututku yang mencium permukaan aspal  yang kasar dengan keras terluka. Luka besar yang cukup menjengkelkan karena tentu saja rasanya perih. Namun karena sudah mendekati waktu masuk kelas aku tidak sempat lagi merasakannya. Dengan tergesa-gesa aku berjalan ke kelas secepat yang bisa kulakukan dengan langkah terseok plus bonus luka di lutut. Sampai di kelas aku langsung duduk di kursiku. Luka di lututku tidak terlihat karena tertutup tepi bawah rok yang mencapai beberapa senti di bawah lutut. Berhubung guru untuk mata pelajaran pertama sudah datang maka aku tidak sempat pergi ke UKS untuk mengobati lukaku. Kupikir nanti saja deh. Dua jam pelajaran kukira tidak terlalu lama sehingga rasa perih di lutut masih bisa kutahan.

Tepat ketika itu guruku menyuruh siswa yang piket hari itu untuk membersihkan papan tulis yang belum sempat dihapus. Tanpa berpikir aku yang memang kebagian piket pada hari itu bangkit dan maju ke depan (mungkin juga refleksku itu dipengaruhi oleh otak yang merasa bersalah karena kesiangan, hehehe. Jadi otomatis aku tidak sempat ikut bekerja dengan regu piketku). Sebelum aku sempat menyentuh penghapus whiteboard sebuah teguran dari guru menyapa telingaku.

“Hei, itu kenapa kakinya?”

Rupanya beliau melihat luka yang berdarah di kakiku. Dengan agak malu aku menjawab  bahwa aku jatuh di depan tadi. Sambil bicara (dengan muka merah tentunya) Terbayang olehku pohon kaktus besar yang berdiri tidak jauh dari TKP jatuhku tadi. Pikiran itu membuatku malu sekaligus kesal setengah mati karena kaktus itu jelas menonton semua adegan jatuhku dari awal sampai akhir, namun ia hanya berdiri saja di sana seolah menertawakanku.

Bapak guru bahasa Indonesiaku yang baik hati itu lalu segera memerintahkan seksi PMR di kelas kami untuk mengobatiku. Dengan patuh sang petugas PMR yang kebetulan namanya mirip denganku, yaitu Nova, segera pergi ke UKS untuk mengambil obat-obatan yang diperlukan. Ketika ia datang lagi ke kelas ia langsung membersihkan lukaku dengan cairan alkohol, lalu dibubuhkannya obat luka banyak-banyak. Aku sangat berterimakasih. Rasa perih di lututku itu agak berkurang sehingga tidak terlalu mengganggu lagi. Terima kasih ya sobatku yang cantik. Namun sama seperti teman-teman lainnya yang kini bagaikan ditelan bumi, ia pun sudah tidak tentu lagi rimbanya.

Kali lainnya lagi aku jatuh dari ankutan umum. Bagaimana sih ceritanya? Hehehe, tenang saja. Tidak terlalu parah kok karena angkutan umum itu sedang dalam keadaan berhenti. Ceritanya begini, saat itu pelajaran sekolah untuk hari itu sudah selesai. Aku dan teman-temanku segera keluar kelas untuk pulang ke rumah. Sudah banyak angkutan umum yang berderet di depan sekolah untuk mengantar para siswa pulang (dengan ongkos jalan tentunya, hehehe). Kucari angkutan yang menuju ke jurusan rumahku lalu aku naik. Ketika mobil berhenti di perhentian di dekat rumahku mendadak kakiku terasa lemas sehingga saat turun dari mobil rasanya tidak menapak permukaan jalan. Tubuhku yang kehilangan topangan kedua kaki pun langsung terjerembab ke atas jalanan berkerikil dengan posisi muka lebih dulu. Spontan orang-orang yang melihat kejadian itu menolongku. Aku kembali didudukkan di dalam mobil . Pak supir yang baik hati lantas menanyakan letak rumahku. Sementara mobil berjalan aku yang pada waktu itu belum menjadi seorang tunanetra mencuri pandang ke arah kaca spion dan betapa terkejutnya aku melihat pemandangan yang tersaji di permukaannya. Mukaku lebam dan ada bagian yang berdarah. How come? Padahal aku tidak terlalu merasa sakit. Setelah kuperhatikan pantas saja tidak sakit. Luka itu letaknya di dekat mata sebelah kanan. Dari dulu syaraf-syaraf tubuhku yang sebelah kanan memang tidak berkembang sebaik yang kiri. Begitu pula dengan kepekaannya sehingga sekarang bila aku membaca dengan braille aku menggunakan tangan kiri karena lebih peka.

Sejak saat itu orang tuaku memutuskan untuk mengantarku ke sekolah setiap hari. Namun tidak lama kemudian terpaksalah aku absen dari sekolah karena kepalaku mulai sakit sehingga tidak mampu lagi berjalan jauh dan mengikuti kegiatan-kegiatan di sekolah.  Bukan itu saja, penglihatanku pun mulai mengabur sehingga pada suatu saat orang tuaku membawaku ke dokter spesialis mata. Namun setelah melihat kondisiku dokter menganjurkan agar kami berkonsultasi ke dokter spesialis bedah syaraf yang pernah menangani operasiku  pada saat usiaku sembilan tahun. Mendengarnya, aku agak kesal. Masa Cuma begini saja sudah curiga sama tumorku sih? Malas sekali aku ke dokter bedah syaraf (Hehehe, sebagaimana lazimnya orang yang tidak terlalu peduli pada kondisinya. Tentu saja aku yang tidak berpikir ke arah sana menjadi kaget). Selain itu terselip juga kekhawatiran yang tidak sempat terlintas di benakku waktu umur sembilan tahun. Bagaimana kalau aku harus dioperasi lagi? Bagaimana jika aku harus tinggal di rumah sakit dalam waktu lama seperti saat itu? Apakah penglihatanku bisa kembali normal setelah operasi? Pertanyaan yang terakhir ini pun kujawab dengan sok tahu. Bisa!

Maka dengan berbekal keyakinan bahwa penglihatanku akan kembali normal setelah operasi aku berangkat ke tempat praktek dokter itu. Setelah menjalani serangkaian tes dan juga difoto dengan MRI akhirnya diperoleh keputusan yang sudah kuduga sebelumnya. Aku harus operasi lagi. Tumor yang bersarang di otakku ternyata sudah sejak lama mengeluarkan cairan pekat yang kini menekan syaraf penglihatan. Bila dibiarkan tekanan itu akan semakin besar seiring dengan makin banyaknya jumlah cairan yang dikeluarkan si teroris yang terbilang cukup jinak tersebut. Hehehe, bagaimana tidak? Pertumbuhannya yang lambat membuatnya mendapat predikat jinak meski kalau sudah kambuh rasanya sangat aduhai.

Yups, itulah yang terjadi. Aku diinapkan di rumah sakit. Kepalaku digunduli untuk persiapan operasi. Malangnya, dokterku yang terhitung sudah senior itu sakit dan harus dirawat di rumah sakit pula. Sempat terjadi kebingungan pada saat itu namun untung segera ada dokter pengganti. Namun aku sangat kecewa karena penglihatanku masih tetap seperti itu. Hingga akhirnya dokter menjelaskan bahwa syaraf yang sempat terhimpit itu memerlukan waktu untuk pulih seperti sediakala. Untuk itu aku mesti sabar. Tapi tentu saja tidak semudah itu. Kutahan kemarahan bercampur kecewa plus kesal yang hampir meledak di benakku karena aku tahu ucapan dokter itu benar, jadi tidak akan ada gunanya bila aku marah-marah karena itu toh tidak akan memperbaiki keadaan. Malah mungkin aku akan capek sendiri jika menuruti nafsu untuk marah tersebut.

Hari-hari yang kulewati di rumah sakit rasanya panjang sekali. Kejenuhan merambat dengan pasti karena aku tidak bisa lagi membaca untuk menghabiskan waktu. Namun Allah memang Maha Kuasa. Dalam keadaan yang entah sadar atau tidak aku diberi macam-macam penglihatan yang mau tidak mau membuatku terhibur dan fresh . (aku sendiri tidak tahu apakah itu halusinasi atau mimpi, yang jelas disyukuri aza deh! Hehehe.). Bermacam gambar yang pernah kulihat di buku cerita dan majalah silih berganti muncul (entah di dalam kepalaku atau di mata, I didn’t know exactly). Pernah pula aku merasa seperti berdiri di sebuah lapangan terbuka namun di sekelilingku udara amat berkabut. Di sela-sela kabut itu kuliha seorang pemuda tengah mengendarai sapu. Hehehe, Subhanallah. Mungkin aku tersedot ke dunia Harry Potter ketika itu. Khayalan yang agak keterlaluan, tapi mengingat bahwa itu di luar kendaliku maka aku tidak bisa disalahkan dong, hehehe.

Selain itu ada juga hal yang bila kuingat kembali sangat membuatku terharu. Yaitu saat aku merasa tercebur dalam sebuah kenangan manis. Awalnya aku tidak melihat apa-apa namun telingaku mendengar sayup-sayup suara orang sedang membersihkan beras dengan tampah yang diayunkan ke atas dan ke bawah. Maka beras yang ada dalam tampah itu akan terlempar ke atas namun segera jatuh kembali ke tampah saat diayun turun. Mendadak segalanya menjadi terang. Aku melihat rumah tetanggaku. Di depan rumah kulihat istri tetanggaku yang sebenarnya saat itu sudah meninggal sedang membersihkan beras dengan cara itu. Suasana saat itu terlihat seperti aslinya yaitu saat aku masih seorang siswa SD. Beras yang berjatuhan dari tampah yang dipegang  istri tetanggaku yang biasa kupanggil dengan sebutan Mbah Putri itu berjatuhan ke tanah dan dipatuki oleh beberapa ekor ayam kate yang dulu dipelihara Mbah Putri di rumahnya. Di sudut depan halaman ada sebuah kandang yang tidak terlalu besar berisi beberapa ekor merpati dan dederuk. Ah, benar-benar mengharukan. Mbah Putri sangat baik padaku. Beliau pandai memasak, namun yang paling kusukai adalah tempe goreng buatan beliau. Dulu aku sering meminta tempe goreng kepada beliau dan tidak jarang pula jika aku sedang bermain bersama cucunya yang kadang-kadang datang ke sana beliau mengajakku makan bersama. Sungguh kenangan yang manis. Sekarang tidak pernah lagi kujumpai tempe goreng selezat buatan Mbah Putri. Hiks, hiks, sudah dulu ya catatannya buat hari ini? Lain kali munkin akan kusambung lagi. Maaf kalau kalimat-kalimatnya rada lebay, hehehe. See you later.

Senin, 17 Oktober 2011

Cerita Q(1)


Pagi yang indah ya, kendati pun langit agak mendung seperti kemarin. Mungkin hujan yang mengguyur kota Subang dua hari yang lalu itu masih ingin meninggalkan jejak berupa warna kelabu di awan. Seperti biasa aku memulai kegiatanku dengan mandi pagi yang hampir selalu kulakukan langsung setelah bangun pagi.  Mungkin karena sudah menjadi kebiasaan, jadi aku selalu merasa nggak nyaman kalau nggak mandi cepat-cepat setelah bangun tidur. Seperti biasa otakku yang segar setelah diistirahatkan semalaman mulai berkicau. Mungkin karena sudah kebiasaan pulalah jadi aku nggak sampai hati untuk menyuruhnya diam. Sehingga bisa ditebak bahwa di antara guyuran air di kamar mandi aku memutar kembali rekaman-rekaman peristiwa yang tersimpan di kepalaku.

Salah satunya adalah ajakan yang kuterima kemarin dari salah satu temanku untuk menulis semacam otobiografi. Ajakan yang tertuang dalam sebuah pesan singkat alias SMS itu membangkitkan sebuah ide. Kenapa tidak? Rasanya aku bisa menuliskannya menjadi sesuatu yang menarik, setidaknya bagi diriku pribadi. Mungkin akan ada yang menganggap pikiranku ini terlalu narsis ya. Tapi bukankah orang harus selalu memulai langkah yang besar dari garis start? Kalau nggak dimulai bisa-bisa kisah hidup seorang Chrysanova ini lambat laun akan musnah terkikis zaman.

Mungkin aku mulai dari yang kecil-kecil dulu saja dan nggak dari awal. Habis kalau mau diurutkan berdasarkan kronologisnya rasanya susah banget. Iya nggak? Hal yang ingin sekali kuceritakan dan mungkin ingin pula diketahui oleh temanku itu adalah kisah asal-usul why I become blind.

Mungkin aku mesti mulai dari tahun terakhirku di SMP. Waktu itu aku lagi menempuh persiapan ujian. Ujian akhir ini ibarat tiang gantungan,  karena dialah penentu seluruh hidupku ke depan. Apakah aku bisa melanjutkan pendidikanku? Begitulah, hari demi hari kulewati dengan serangkaian try out. Tidak ada waktu untuk berpangku tangan. Apalagi bagiku yang sejak kecil memang sudah dibiasakan dengan semangat juang 45 untuk menuntut ilmu. Malam-malam harinya selalu diwarnai oleh segunung buku.  Tidak, barangkali nggak sampai segunung. Aku minta maaf karena kadang aku terlalu lebay. Tapi ini kan Cuma penggambaran sekilas aza agar bisa dibayangkan seperti apa aku waktu itu yang tentunya sangat berbeda dengan sekarang (tapi semangat 45-nya Insya Allah tetap ada dong! Itu wajib bagi seluruh anak bangsa Indonesia,  he). Sorry, kalau sudah nulis seperti ini aku sering melantur. Baik, kita kembali lagi ke jalur utama.

Kira-kira pada waktu bergulat dengan try out itulah tragedi mulai menghadang. Soal-soal yang tertulis di kertas putih itu acapkali menghilang secara mendadak dari pandangan, namun akan segera muncul kembali beberapa saat kemudian. Demikianlah, kukira tumor yang bersarang di otakku sudah mulai mempermainkan mataku ketika itu. Kejadian seperti itu terus saja berulang hingga akhirnya aku lulus. Namun sayang seribu sayang nilaiku tidak terlalu memuaskan saat itu. Aku sendiri kaget melihat kenyataan itu. How can it be? Padahal aku ini sempat merebut juara umum saat duduk di kelas dua.

Aku masuk SMA. Hal itu sangat kusyukuri karena sekolah menengah atasku itu adalah sebuah SMA favorit di kotaku. Betapapun aku kecewa karena nilai ujianku tidak terlalu sesuai harapan, tapi toh masih cukup untuk mengantarku masuk SMA favorit. Harus kuakui, masa itu adalah masa yang berat. Agak sulit bagiku menerima pelajaran-pelajaran baru, apalagi mata pelajaran yang memang sudah terhitung musuh besar bagi mayoritas siswa seperti matematika. Kalau sekarang ini aku menengok ke masa itu aku punya kecurigaan besar bahwa benda asing di dalam kepalaku itu turut andil mengacaukan proses belajarku. Namun di luar itu semua tidak bisa dipungkiri bahwa saat itu adalah salah satu kenangan terindah dalam hidupku. Aku berkesempatan untuk mengenal dunia yang lebih luas daripada yang kukenal di SMP. Teman-teman sekelasku baik-baik. Aku tidak sempat mengenal semua teman yang duduk di kelas lain, tapi aku cukup puas karena dunia SMA memberikan hal baru bagi otak mudaku kala itu.

Namun seperti yang mungkin sudah diketahui banyak orang yang sudah mengenalku bahwa aku tidak lama berada di SMA. Dari bulan pertama aku di sana kondisiku sudah menunjukkan penurunan. Kendati demikian hal itu tidak terlalu kelihatan mencolok sehingga aku tetap saja menjalani semua aktivitas seperti biasa. Olahraga tetap nekat kuikuti kendatipun guru olahragaku sudah melarangku ikut kegiatan yang terbilang berat. Ini tentu karena beliau tahu riwayat kesehatanku yang mencatat bahwa ada tumor yang menumpang hidup di batang otakku. Seperti benalu di batang pohon. Yeah, mungkin itulah perumpamaan yang paling tepat mengingat bahwa kehadiran benda itu sempat mengganggu kerja pusat pengendali kegiatan tubuh itu.

Bahkan pernah ketika penyakit itu kambuh pada saat usiaku beru menginjak sembilan tahun, aku yang sudah dalam keadaan tidak berdaya sehingga hanya berbaring di tempat tidur itu tidak bisa bernapas. Aku yang sudah merasakan pusing di kepalaku sejak lama terpaksa minta izin sakit dari sekolah dasar tempatku belajar. Saat itu aku baru duduk di kelas empat SD. Waktu itu aku tidak mengerti benar apa yang terjadi pada tubuhku. Kepalaku sangat sakit sehingga aku hanya bisa berbaring di tempat tidur. Berdiri pun aku harus dipegangi agar tidak jatuh. Rasanya tubuhku lemas dan kepalaku sakit sekali. Berhari-hari kulewatkan waktuku dengan berbaring di tempat tidur. Maaf, karena kejadian tersebut sudah lama berlalu maka aku sudah lupa lagi detailnya.

Pendek kata, tibalah malam itu. Aku yang masih tergolek di ranjang sedang disuapi oleh ibuku. Saat itu aku nyaris tidak bisa merasakan makanan yang masuk ke mulutku dan apakah aku menelannya atau tidak. Tiba-tiba aku tersedak. Aku hanya tahu apa yang terjadi setelah itu dari cerita yang disampaikan keluargaku. Ketika tersadar aku mendapati diriku sudah berada di tempat lain. Suasananya sangat asing dan aroma yang menguar di udara juga aneh, tidak seperti di kamarku sendiri. Saat itu ada seseorang yang berdiri di samping tempat tidurku. Aku bertanya di mana ini dan ia menjawab bahwa ini di rumah sakit.

Belakangan baru aku tahu apa yang terjadi di malam saat aku dibawa ke sini. Makanan yang kumakan waktu itu tersesat jalan sehingga ia masuk ke tenggorokan bukannya ke jalan yang semestinya yaitu lewat kerongkongan lalu ke lambung. Praktis, makanan yang sudah tersesat itu masuk ke paru-paru dan menghalangi oksigen untuk masuk. That’s why I didn’t know what happened around me. Aku kehilangan kesadaranku selama beberapa waktu yang tidak kuketahui dengan pasti berapa lama.

Kini bila aku teringat lagi tentang itu aku sering tertawa sendiri. Aku yang masih berumur sembilan tahun tidak merasa takut, bosan atau benci. Namanya juga anak kecil ya? Sehingga selama dua bulan aku berada di sana aku nyaris terbiasa sehingga mulai menikmati suasana. Sering juga sih aku deg-degan kalau perawat datang membawa jarum suntik atau jarum infus baru.  Bayangan sebuah jarum yang menembus kulit itu cukup untuk membuat tangan dan kakiku dingin dan jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Namun aku menurut saja karena aku tahu itu harus dilakukan. Aku tidak bisa menolak. Jangka waktu perawatanku yang lumayan panjang membuat infus itu harus sering diganti dan dipindah tempatnya. Oh iya, yang lebih seru lagi kepalaku tentu saja digunduli. Lalu setelah operasi aku menjalani masa pemulihan dengan membaca. Rupanya hobi yang sudah mendarah daging itu tidak mau menunggu sampai aku pulang ke rumah.  Aku yang merasa sudah membaik pada waktu itu langsung minta dibelikan buku-buku kepada orangtuaku. Tentu saja Cuma buku bacaan ringan seperti buku cerita karangan HC. Andersen dan komik-komik Dora Emon. Juga novel-novel Lima Sekawan atau Trio Detektif. Buku-buku itu sangat efektif membunuh kebosananku. Dan yang lebih asyik lagi tentu makanan.  I didn’t know why, selama masa pemulihan itu makanan apapun yang masuk ke mulutku rasanya enak.  Wajarlah. Kalau sudah sehat pasti semua terasa enak.

Aku tidak pernah menduga bahwa apa yang pernah kualami pada usia sembilan tahun itu akan terulang lagi. Pada usia lima belas tahun, yaitu beberapa bulan setelah masuk SMA kondisiku terus menurun. Pada mulanya aku tidak berpikir bahwa penurunan itu bersumber dari tumorku yang
 Masih betah menghuni kepalaku. Dokter memang tidak mengangkat keseluruhannya dengan mempertimbangkan letaknya di batang otak yang merupakan daerah rawan. Waktu itu letaknya sudah sedemikian melekat sehingga dikhawatirkan jika diangkat seluruhnya akan mengganggu jaringan di sekelilingnya. Wujud dari penurunan kesehatanku itu antara lain terlihat dengan terganggunya keseimbangan tubuhku. Aku mulai sering jatuh dan jalanku pun terhuyung-huyung sehingga teman-teman sekelasku yang baik hati selalu menjagaku ke mana pun aku pergi di kompleks sekolah. Mereka juga tidak segan menuntunku bila dalam pelajaran olahraga kami harus pergi keluar gerbang sekolah.

Bukti lainnya lagi dari kebaikan dan besarnya perhatian dari teman-teman sekelasku pada waktu itu adalah saat kejadian yang agak memalukan terjadi. Saat itu aku pergi ke sekolah dengan membawa banyak buku sesuai jumlah pelajaran hari itu. Maka aku pergi ke sekolah dengan menggendong tas besar yang lumayan berat, namun perjalanan yang kutempuh dengan angkutan umum membuat beratnya tidak terasa. Barulah setelah turun dari angkutan aku merasa beban di punggungku itu berat sekali. Maka terpaksalah aku terseok-seok dari pintu gerbang sekolah sampai ke kelasku yang terletak di seberang lapangan upacara. Sehingga pada saat melewati ambang pintu kelas keseimbanganku benar-benar hilang. Tanpa bisa ditahan lagi aku jatuh tertelungkup. Untung belum ada guru yang datang sehingga mukaku dapat terselamatkan. Spontan seisi kelas menghampiriku. Mereka membantuku berjalan ke bangku sedangkan yang lainnya membawakan tasku ke meja. That’s very nice of them. Mereka baik sekali sehingga tidak bisa kulupakan hingga sekarang walaupun jalannya nasib yang berbeda membuat kami semakin jauh dan akhirnya tidak kuketahui lagi kabar mereka.

Sabtu, 18 Juni 2011

My Great Experience


My Great Experience


On Tuesday, the last May, 31st 2011 some people came to my home. Their visit really made me happy, because they interested to know about my life as a people with low vision. I have known one of them. Mrs. Dedeh was an English teacher of my beloved old school, SMAN 1 Subang. She came to my home with her friends and also her husband. When we met she introduced me to her friends who were coming from Nederland.  They were Sharon, Linda, and Jori. Mrs. Dedeh told me that her friends were practising in SLBN Subang that not far from my home. Because of they taught disability people, so they interested to know about me, my blog and also how I operated my computer. They were very kind and they looked enjoy to see me operated my computer. One of the points that made me happy was when I said that I really want to study about music. So Sharon reasonly asked me to play keyboard together. I was happy to learn from her but I was shy because I couldn’t play well. So everybody who read this written could say that my ability was so less. But I would tried to study everything I could.

My new friends from Nederland just stayed at my home for a few hours.  And Mrs. Dedeh told me that they would go leave Subang a few days after. That was a pity, because I just know them in the end of their visiting in Subang. In the end of our meeting Mrs. Dedeh’s husband took our picture by my mobile phone. They would go leave Subang but I thought a memory of that moment would always saved in my mind. It’s really an unforgetting experience. In the end of this written I thought I had to thank to Mrs. Dedeh to introduced myself to our Dutch guests. I could try to speak English with them although my English was not good. But I thank to God to gave me a great experience to get new friends.  And in the last of course I said thank you so much to my new frends. So that moment gave me a new spirit to do the better things for myself and another people in this world. It could be reached if I  would try  to increase my ability to get brighter future. Once again, to all of the visitors who has read this written I didn’t forget to say thank you so much. I hoped it would give us spirit to be better and better together .

Sabtu, 08 Januari 2011

Cahaya di Dunia Baruku


Hai! Ketemu lagi dengan Chrysanova. Kali ini saya akan bercerita mengenai latar belakang kedatangan saya ke dunia tunanetra atau lebih tepatnya low vision. Saya mulai mengalami gangguan pada penglihatan sekitar tujuh tahun yang lalu saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama kelas tiga. Pada penghujung masa SMP ku itulah banyak hal yang terasa tidak biasa. Terutama menjelang ujian akhir nasional. Aku mulai kesulitan melihat soal-soal try out. Namun hal itu tidak berlangsung terus menerus. Adakalanya aku bisa melihat dan membacanya dengan jelas namun mendadak soal-soal itu akan hilang dari pandangan sehingga hanya menyisakan kertas putih kosong yang beberapa saat kemudian akan terisi kembali seperti sediakala. Pada mulanya aku tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang aneh. Aku hanya menganggap bahwa aku kurang teliti saja dalam membaca, suatu proses yang wajar pada anak-anak seusiaku waktu itu. Aku juga menduga hal tersebut sebagai dampak dari stress menjelang ujian sehingga mata yang lelah setelah begadang sambil belajar kehilangan focus selama sesaat. Bukankah semua hal itu biasa saja? Singkatnya hal itu tetap terabaikan hingga tahun pertamaku di sekolah menengah atas. Aku semakin sering mengalami hal tersebut dan keseimbangan tubuhku juga makin tidak beres sehingga aku semakin sering jatuh. Di jalan, di rumah dan yang paling membuatku malu adalah di kelas, di depan mata semua teman sekelas yang kesemuanya awas. Saat itu karena banyaknya buku yang harus kubawa maka aku menggunakan tas besar yang cukup berat.  Semula aku tidak mempedulikan beratnya karena perjalanan dari rumah ke sekolah kutempuh dengan angkutan kota. Turun dari kendaraan umum tersebut aku membawa tas tersebut ke kelas yang terletak di seberang lapangan upacara. Keseimbangan tubuhku yang terganggu menyebabkan aku kesulitan untuk berjalan dengan benar hingga tiba di kelas aku langsung tersungkur di lantai. Teman-temanku yang melihat kejadian itu segera menolong. Yang cewek menuntunku dan yang cowok membawakan tasku ke meja. Untung belum ada guru yang masuk ke kelasku pada waktu itu.

Pernah pula aku jatuh dari angkutan kota. Penyebabnya sama, kesulitan berjalan karena memanggul tas berat berisi buku-buku yang ukurannya juga tidak kecil. Saat itu angkutan sudah berhenti dan aku hendak turun. Tapi lagi-lagi kakiku mendadak terasa lemas sehingga tidak mampu menopang berat tubuhku plus tas yang kugendong di punggung. Akibatnya bisa ditebak. Aku terhempas ke aspal dengan wajah lebih dulu. Tidak perlu kujelaskan detailnya, pokoknya wajahku babak belur terhantam aspal keras yang kasar dan dihiasi kerikil di sana-sini.  Para penumpang lain yang melihat aku jatuh segera menolong. Mereka lalu mencarikan angkutan lain yang menuju kea arah rumahku dan membantuku naik ke dalamnya. Bapak supir angkutan umum yang baik hati pun mengantarku sampai di depan rumah, tidak di perhentian biasanya. Sejak itu orangtuaku memutuskan untuk mengantarku setiap pergi ke sekolah. Aku tidak lagi naik kendaraan umum.

Aku mulai absen dari sekolah kira-kira beberapa minggu setelah Idul Fitri tahun itu. Kepalaku yang mulai terasa sangat sakit memaksaku hanya berbaring di tempat tidur tanpa bersedia mengangkat kepala dengan sukarela apabila tidak terdorong rasa lapar ataupun ingin ke belakang. Penglihatanku yang makin buruk membuat orangtuaku memutuskan untuk membawaku ke dokter mata. Setelah melihat keadaanku yang tidak hanya bermasalah dengan mata sang dokterpun menyarankan agar aku berkonsultasi ke dokter spesialis bedah syaraf yang pernah menanganiku dulu, saat tumor yang bercokol di otakku mengacau pada saat usiaku Sembilan tahun. Mendengarnya, aku sempat ketakutan. Bayangan jarum-jarum infuse, kabel,selang dan berbagai peralatan lain bahkan lebih mengerikan bagiku daripada film-film horror yang pernah kutonton. Tapi apa boleh buat, tidak ada pilihan lain selain melaksanakan saran itu. Setelah bolak-balik difoto dengan MRI dokter bedah syaraf memutuskan bahwa aku harus menjalani operasi karena tumor yang bersarang di otakku mengeluarkan cairannya sendiri yang jauh lebih pekat daripada cairan otak sehingga cairan tumor tersebut mendesak syaraf penglihatan hingga tidak berfungsi baik.

Aku pun menerima keputusan itu walaupun tidak dengan senang hati. Namun aku berusaha sedikit mengobati ketakutanku dengan membayangkan bahwa setelah operasi penglihatanku akan pulih seperti semula sehingga aku dapat kembali membaca buku-buku sebagaimana kegemaranku.  Namun mimpi tinggallah mimpi.  Kekecewaan menghantam ketika harapanku tidak juga terwujud kala aku tersadar sepenuhnya dan mendapati dunia di sekitarku tidak Nampak jelas.  Itu berarti aku tidak dapat lagi membaca untuk mengisi waktu. Aku mulai merasa tidak berdaya. Tidak ada yang bisa kulakukan. Hari-hari yang kuhabiskan di rumah sakit setelah operasi itu amat membosankan.  Tindakan medis yang meninggalkan bekas jahitan di belakang kepalaku itu berhasil mengangkat cairan tumor yang mengganggu itu. Tumor yang menjadi teroris sejati di dalam tubuhku tidak diangkat karena setelah mempertimbangkan letaknya yang melekat di otak kecil dokter khawatir jaringan-jaringan di sekitarnya akan terganggu bila tumor itu diangkat hingga ke akar-akarnya.

Namun masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Penglihatanku kini tidak bisa berfungsi normal. Saat pulang ke rumah pun aku merasa seperti berjalan ke sebuah dunia lain yang sangat asing. Penyesuaian diri dalam keadaan itu tidak berlangsung dengan mudah. Keadaan itu terasa semakin berat saat kusadari aku perlahan mulai kehilangan teman-temanku yang terbelit kesibukan masing-masing. Saat itu aku harus menerima bahwa kesepian dan kegelapan menjadi teman sejatiku. Orang tuaku yang sangat prihatin melihat kondisiku mulai membawaku berobat ke mana-mana. Dokter sudah mengatakan bahwa secara medis mereka sudah bertindak semaksimal mungkin sehingga kami hanya tinggal menunggu tubuhku memulihkan dirinya sendiri. Semua butuh proses, kata beliau. Aku paham namun tidak sepantasnya kami berdiam diri. Bertahun-tahun kami mencari pengobatan lewat jalur alternative namun tidak juga ada hasilnya. Pada akhirnya aku lelah dengan usaha itu. Aku menyadari bahwa aku ingin belajar. Belajar apa saja yang mampu masuk ke kepalaku karena hidupku masih panjang. Aku ingin melakukan hal yang bermanfaat sambil memberi kesempatan pada tubuh untuk melakukan pemulihan.

Kini aku benar-benar bersyukur atas langkah yang kutempuh ketika itu. Aku mempelajari berbagai pengetahuan yang diperuntukkan bagi tunanetra. Hal-hal itu benar-benar baru bagiku. Aku kini menganggap dunia baruku yang gelap ini sebagai dunia baru yang menantang kreativitas siapapun yang memasukinya.  Selalu ada jalan untuk meraih tujuan, dan yang terpenting kini aku tidak sendirian. Banyak teman yang senasib dan kami tidak merasa kegelapan ini sebagai halangan untuk menikmati hidup. Dengan apa yang kami miliki hidup terus berjalan. Aku pun dapat terus belajar dan mendapatkan hal-hal baru yang tidak kuketahui saat penglihatanku masih terang. Kini aku merasakan bahwa terang yang sebenarnya bukan hanya terang di mata, melainkan terang di dalam hati. Demikianlah kini hidupku kembali bersinar dengan cahaya harapan yang mengiringi setiap langkahku. Cahaya bukan hanya milik mereka yang tidak memiliki masalah dengan penglihatan. Kita para tunanetra pun dapat melihatnya terbit dan bersinar terang di dalam hati berupa semangat dan harapan yang tak pernah padam.