Mata Hatiku

Hai! Namaku Chrysanova. Selamat datang dib log Mata Hatiku. Blog ini dibuat untuk menampung beberapa tulisanku sekalian buat “pamer”,hehehe. Buat kalian yang udah repot-repot datang,kenapa nggak kalian sumbangin komentar biar ke depannya kita semua bisa nikmatin cerita yang lebih bagus di sini. OK,segitu aja dari aku. Selamat membaca ya. Thanks a lot.

Guest Book

click here to fill it

Rabu, 27 Agustus 2014

Menelusuri Sejarah Kota Subang


aneka fosil hewan dari mulai rusa purba hingga kerang laut dan fosil kayu. Ada fragmen fosil gajah purba atau Stegodon, kerbau purba, dan rusa yang juga berasal dari era Pleistocen. Permukaan laut yang membeku kala itu membuat dataran Benua Asia, Sumatera, dan Jawa menyatu sehingga memudahkan migrasi hewan-hewan dari Asia menuju Pulau Jawa, khususnya Subang. Fosil hewan laut pun ada di sini, yaitu kerang. Hal ini dapat dimengerti karena kala itu Kabupaten Subang bagian utara adalah laut.  Setelah itu perjalanan kulanjutkan hingga memasuki kebudayaan manusia purba yang ditandai oleh adanya peninggalan
berupa peralatan dari batu dan logam.  Kapak batu, kapak lonjong, dan kapak sepatu yang ditemukan di berbagai tempat di Kabupaten Subang dapat dilihat di sini. Tidak ketinggalan berbagai artefak dari masa perundagian dimana manusia mulai mengenal aneka keterampilan seperti pengolahan logam. Peninggalan dari zaman ini diantara lain adalah bejana perunggu besar seperti yang kemudian kupotret sebagai kenang-kenangan.
Kemudian ketika memasuki masa sejarah khususnya masa Hindu-Buddha aku menemukan patung Nandi yang kemudian juga kuabadikan dalam bentuk foto. menurut mitologi
Hindu Nandi yang berbentuk lembu adalah tunggangan atau kendaraan Dewa Siwa. Selain itu ada pula barang-barang dari keramik yang menunjukkan adanya hubungan antara Subang dengan bangsa Cina khususnya Dinasti Yuan dan Ming.
Berlanjut ke zaman yang lebih modern yaitu pada masa kolonial Belanda aku berfoto bersama patung perunggu P. W. Hoffland yang pernah berkuasa di Subang
pada awal abad ke-20. Ada pula senjata-senjata kuno seperti pistol yang digunakan oleh VOC, samurai penjajah Jepang, dan juga keris serta kujang milik
para demang yang pernah mengepalai daerah-daerah di Subang tempo dulu. Tidak hanya itu, peralatan makan serta mata uang zaman penjajahan pun dapat kita
lihat di museum ini. Bahkan gedung tempat museum ini pun adalah saksi bisu yang sangat penting akan perjalanan Kota Subang dari masa ke masa. Dari pemerintahan
yang satu ke pemerintahan lainnya. Namun kini bentuk bangunannya sudah tidak asli lagi. Bangunan yang didirikan pada tahun 1929 ini sudah tidak lagi menyerupai
bentuk aslinya karena adanya tambahan-tambahan di berbagai bagian.

Benda-benda yang kuceritakan di atas adalah peninggalan masa silam yang tidak ternilai harganya karena dari benda-benda itulah kita dapat merekonstruksi kehidupan yang terdapat di
bumi sebelum kita lahir. Darinya banyak hikmah yang dapat dipelajari untuk peningkatan kualitas kehidupan di masa kini dan masa yang akan datang. Namun
yang sangat kusesalkan adalah banyaknya orang yang tidak mengerti dan tidak pula menghargai sejarah. Padahal tanpa masa lalu tidak mungkin kita dapat meraih
kemajuan seperti sekarang ini. Tidak ada masa kini tanpa masa lalu.

Aku juga sangat prihatin karena banyak sekali benda yang sejatinya merupakan petunjuk tentang
masa lalu kita dan juga umat manusia di dunia terancam hilang oleh keterbatasan pemahaman beberapa orang. Itulah sedikit oleh-oleh dariku dari Museum Daerah Subang
yang menempati gedung yang dahulu bernama Societeit ini. Mari kita jaga kelestarian warisan sejarah kita karena artefak-artefak tersebut adalah identitas budaya yang semestinya menjadi kebanggaan kita semua. Demikian pengalamanku mengunjungi Museum Daerah Kabupaten Subang. See you in my next holiday :)

Rabu, 20 Agustus 2014

Our Weekend


Udara pagi yang membelai lenganku terasa nyaman. Sejuk dan menyegarkan, tidak seperti udara di tempat tinggalku yang panas. Dengan bersemangat kulangkahkan kaki di atas jalanan tanah yang berbatu di sana-sini. Di sekitarku pemandangan pepohonan dan semak yang rimbun menyapa mata setiap orang yang melewati jalan di lereng gunung itu. Di kejauhan terdengar kicau berbagai jenis burung. Kulihat beberapa di antaranya terbang melewatiku dari pohon ke pohon. Gemericik air sungai yang terletak tidak jauh dari tempatku berpijak menambah damai suasana pagi itu.

“Capek nggak Mbak?” tanya Eneng, sahabatku yang berjalan di sampingku. Kuncir rambutnya bergoyang-goyang seiring langkahnya sehingga terlihat lucu. Aku menggelengkan kepala. Jalanan yang kami lewati memang menanjak namun tidak terlalu tajam sehingga tidak melelahkan.

“Nggak apa-apa ya. Hitung-hitung olahraga,” timpal suara di belakangku yang tidak lain adalah suara Pak Ahmad, mahasiswa kelas karyawan Fikom Unsub. Ia berjalan santai tanpa tergesa-gesa untuk menikmati pemandangan di sekitar kami. Di sampingnya nampak tiga orang lagi. Ketiganya cowok teman sekelas kami di Fikom 12. Mereka adalah Gugun si ketua kelas, Krendy, dan Iqbal.

“Masih jauh, Neng?” tanya Krendy. Eneng menggeleng.

“Nggak! Sebentar lagi kok. Tuh di depan,” tunjuknya pada sesuatu yang terletak agak jauh di depan kami. Aku menyipitkan mata untuk memfokuskan pandangan. Tidak begitu jelas apa yang ditunjuk Eneng. Sejauh mata memandang hanya jajaran pepohonan yang tampak diselingi oleh hamparan sawah menghijau.

“Eh, berhenti dulu yuk! Lapar nih,” ujar Iqbal. Ia lalu mengajak kami menghampiri sebuah areal sawah. Dari ranselnya ia lalu mengeluarkan segulung senar. Aku mengerutkan dahi. Mau apa sih anak ini? Krendy yang paham maksud Iqbal segera membantu.

“Ngiringan ngala belut nya Bu!” seru mereka kepada seorang ibu petani yang sedang bekerja di sana.   Ia mengangguk tanda tak keberatan. Dengan hati-hati Iqbal memasukkan senar pancing yang sebelumnya telah digantungi cacing ke dalam lubang belut yang ditemukannya di lumpur sawah. Aku, Pak Ahmad, dan Eneng memperhatikan dari tepi sawah. Beberapa saat kemudian senar pancing tampak menegang. Iqbal nampak kerepotan menariknya. Maklumlah, belut adalah hewan yang kuat. Ia tidak mudah menyerah bila ditarik keluar dari sarangnya. Gugun membantu. Ia turut menarik pangkal senar sambil melangkah mundur.

“Kena! Gol!” Iqbal bersorak ketika seekor belut besar tertarik di ujung senar. Kami yang menonton di tepi sawah bersorak dan bertepuk tangan. Namun belut itu masih meronta dengan liar sehingga Gugun kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke lumpur. Selanjutnya Eneng menyiapkan api dan kamipun memanggang belut itu beramai-ramai. Rasanya sangat gurih. Kami menikmatinya di tepi sawah dengan nasi yang dibawa dari rumah Eneng. Sementara kami menikmati belut panggang itu dan juga pemandangan di sekeliling ibu petani yang tadi kami sapa datang menghampiri. Ia wanita setengah tua yang berpakaian sederhana. Beberapa saat lamanya ibu itu mengobrol dengan Eneng seakan sudah kenal dekat. Itu tidak mengherankan. Desa ini adalah desa kecil sehingga penduduknya saling mengenal. Tidak lama kemudian sang ibu petani berpamit dengan ramah dan melangkah pergi ke arah berlainan.  Tetapi aku lalu melihat raut muka Eneng berubah seperti orang bingung.

“Kenapa Neng?” tanyaku. Eneng kemudian bercerita tentang apa yang didengarnya dari ibu petani tadi. Katanya akhir-akhir ini banyak hewan liar yang merusak sawah para petani. Beberapa orang curiga bahwa hewan-hewan itu semula tinggal di lereng-lereng Tangkubanparahu sehingga muncul kekhawatiran bahwa mereka turun karena Tangkubanparahu mulai aktif. Namun itu hanya dugaan segelintir orang saja. Melihat suasana di sekitar kami yang tenang-tenang saja rasanya mustahil hal seperti itu bisa terjadi. Sudah sejak lama Tangkubanparahu yang menjulang di sebelah selatan Subang itu tidak menunjukkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan.

“Menurut kalian kita jadi nggak ya ke sana? Aku takut, jangan-jangan dugaan itu benar,” tanya Eneng sambil menoleh ke arah Pak Ahmad, Krendy, Iqbal, dan Gugun.

“Terus aja Neng!” jawab Krendy bersemangat. “Kan belum tentu seperti itu. Mungkin aja hewan-hewan turun gunung karena pengen cari suasana baru.”

Kami hanya tertawa menanggapi pendapat Krendy yang diucapkan sambil bergurau itu. Kamipun melanjutkan perjalanan. Tidak terhindarkan lagi bagian bawah pipa celana kami basah terkena embun yang menempel di rerumputan yang terinjak.  Tidak jarang pula kami harus menghindari bebatuan dan genangan air yang terkadang muncul menghalangi langkah kami. Gua yang kami tuju sudah semakin dekat. Dari tempat kami gua itu terlihat gagah dan angker di antara rerimbunan pohon dan semak yang tumbuh tidak beraturan. Tanpa berkata apa-apa kami berenam berlomba memasuki lorong batu raksasa itu. Untuk mencapai mulut gua kami harus menempuh lereng yang lumayan terjal. Dengan saling membantu akhirnya kami tiba juga di mulut gua. Aku diam mengatur napas yang tersengal karena mendaki lereng tadi. Mataku mengamati keadaan gua itu. Alangkah hebatnya ciptaan Tuhan ini. Terlihat kokoh dan megah sehingga siapapun yang melihatnya dari dekat pasti akan terkesan.

“Kenapa Chan? Ayo masuk!” ujar Krendy seolah mengajakku bertandang ke rumahnya sendiri. Ia lalu masuk ke dalam gua dengan diikuti oleh ketiga cowok yang lain. Aku tidak mau cepat-cepat. Kuajak Eneng berjalan perlahan untuk menikmati pemandangan stalaktit –stalaktit aneka bentuk dan ukuran yang bertonjolan keluar dari langit-langit gua.  Ada pula stalaktit yang sudah hampir menyentuh ujung stalagmit di bawahnya sehingga nampak seperti tiang batu berbentuk unik. Bukan itu saja. Aneka bentukan lain bebatuan hasil pahatan alam memanjakan mataku. Sungguh sayang untuk dilewatkan. Sementara itu suara kawan-kawan kami semakin terdengar jauh pertanda mereka telah masuk jauh ke dalam gua. Tidak jauh di depanku Eneng asyik memotret berbagai pahatan alam yang fantastis itu.

Samar-samar telingaku menangkap sesuatu yang terasa aneh. Suara itu terdengar sangat pelan. Nyaris tidak terdengar di antara suara jepretan kamera ponsel, suara percakapan para cowok yang entah ada di mana di perut gua yang panjang itu, dan juga tetesan-tetesan air yang berasal dari sungai bawah tanah yang terletak di suatu tempat di perut gua.

“Tunggu sebentar Neng,” ujarku pada Eneng yang langsung berhenti memotret dengan raut muka bertanya. Aku diam dengan memasang telinga secermat mungkin. Tidak salah lagi. Suara itu seperti suara derum samar yang nyaris saja tidak terdengar karena lirihnya. Mendadak aku terkejut ketika ingatan tentang ibu petani yang menghampiri kami di sawah tadi melintas di benakku. Masya Allah! Jantungku langsung berdebar kencang.  Kuharap ini bukan tanda-tanda aktifnya kembali Gunung Tangkubanparahu. Eneng berteriak ketika bumi mulai bergetar. Bebatuan di atap gua mulai retak. Retakan itu dengan cepat menjalar ke bagian-bagian lain. Bebatuan besar dan kecil mulai berjatuhan. Kudengar para cowok di dalam mulai berteriak-teriak panik. Eneng menarik lenganku, setengah menyeretku keluar gua. Untunglah kami berdua belum jauh masuk ke gua sehingga dapat cepat-cepat keluar. Kami berlari keluar sementara bongkahan-bongkahan batu semakin banyak berjatuhan. Aku mencoba berteriak sekuat suaraku untuk memanggil kawan-kawan yang masih di dalam. Suara mereka sudah tak bisa kudengar lagi karena tertutup suara gemuruh dan bebatuan yang berdebam.

“Mbak, awas!” Eneng berteriak ketika stalaktit di atas kepalaku mulai lepas. Aku berkelit tepat pada waktunya yaitu pada saat batu besar itu jatuh menumbuk lantai dan menimbulkan getaran yang memicu runtuhnya bagian-bagian lain dari gua itu. Untung sajaEneng cepat menarikku. Tidak terbayangkan bagaimana jadinya jika kepalakulah yang tertumbuk batu yang beratnya tidak mungkin kurang dari dua puluh kilogram itu. Dengan kepanikan yang makin melonjak kami berusaha menuruni lereng untuk menjauhi gua. Udara kini penuh debu yang berasal dari hancuran batu.

“Gun! Krendy! Iqbal!” Eneng masih berusaha memanggil kawan-kawan kami. Suaranya makin histeris. Aku tidak sanggup berkata apa-apa karena napasku yang tersengal-sengal karena panik. Tidak terbayangkan olehku nasib keempat kawan kami yang lain. Mendadak kulihat sesosok tubuh berlari keluar dari gua dengan gerakan seperti kelinci ketakutan. Ia berlari dengan sangat cepat tanpa memperhatikan jalan sehingga ia terjatuh di lereng terjal yang terletak di depan mulut gua. Ia terguling-guling. Tangannya meraba-raba mencari pegangan. Untunglah lereng itu tidak tinggi sehingga sebentar saja aku sudah dapat melihat siapa dia. Ternyata dia Iqbal. Kulitnya penuh luka goresan dan lebam serta wajahnya penuh debu. Pakaiannya robek di berbagai tempat. Sekejap kemudian banyak orang yang berdatangan. Rata-rata mereka petani yang sedang bekerja di sawah ketika gempa terjadi.  Mereka segera menolong kami. Sebagian mencari Pak Ahmad, Krendy, dan Gugun di antara reruntuhan batu yang menutup mulut gua. Di antara orang-orang yang datang kulihat orang tua Eneng. Mereka berjalan tergesa-gesa menuju ke arah kami.

“Eneng teu nanaon?” tanya ibu Eneng dengan suara khawatir. Ia lalu memeluk putrinya dan mengajak kami pulang. Aku ragu sejenak. Namun Eneng tampak tidak setuju dan berkata kepada ibunya bahwa kawan-kawan kami masih di dalam. Seseorang lain yang tidak kukenal menimpali percakapan kami. Menurutnya kami lebih baik pulang saja untuk beristirahat dan merawat luka-luka Iqbal.
 Mendadak terjadi lagi keributan di mulut gua. Tanpa menghiraukan ibu Eneng yang berteriak mengajak kami pulang aku dan Eneng berlari ke arah datangnya suara sambil menyeruak kerumunan orang-orang yang juga menuju ke arah yang sama. Hati kami dipenuhi kecemasan. Berita baikkah yang akan kami jumpai di sana ataukah sebaliknya? Dari percakapan yang kami dengar ternyata ketiga kawan kami ditemukan. Namun aku belum sempat melihat keadaan mereka ketika mendadak semua gambaran di depan mataku menghilang

“Buk!” Kurasakan pahaku seperti ditepuk dengan keras. Aku gelagapan. Suasana berubah total.

“Chan, bangun! Shalat subuh!” Terdengar suara ibuku. Dengan linglung aku duduk. Aku berada di atas tempat tidurku sendiri dan dikelilingi oleh bantal-bantal dan boneka macan kesayanganku. Astaga, ternyata aku hanya mimpi!!!