Udara pagi yang membelai lenganku terasa nyaman. Sejuk dan menyegarkan,
tidak seperti udara di tempat tinggalku yang panas. Dengan bersemangat
kulangkahkan kaki di atas jalanan tanah yang berbatu di sana-sini. Di sekitarku
pemandangan pepohonan dan semak yang rimbun menyapa mata setiap orang yang
melewati jalan di lereng gunung itu. Di kejauhan terdengar kicau berbagai jenis
burung. Kulihat beberapa di antaranya terbang melewatiku dari pohon ke pohon.
Gemericik air sungai yang terletak tidak jauh dari tempatku berpijak menambah
damai suasana pagi itu.
“Capek nggak Mbak?” tanya Eneng, sahabatku yang berjalan di sampingku.
Kuncir rambutnya bergoyang-goyang seiring langkahnya sehingga terlihat lucu.
Aku menggelengkan kepala. Jalanan yang kami lewati memang menanjak namun tidak
terlalu tajam sehingga tidak melelahkan.
“Nggak apa-apa ya. Hitung-hitung olahraga,” timpal suara di belakangku
yang tidak lain adalah suara Pak Ahmad, mahasiswa kelas karyawan Fikom Unsub.
Ia berjalan santai tanpa tergesa-gesa untuk menikmati pemandangan di sekitar
kami. Di sampingnya nampak tiga orang lagi. Ketiganya cowok teman sekelas kami
di Fikom 12. Mereka adalah Gugun si ketua kelas, Krendy, dan Iqbal.
“Masih jauh, Neng?” tanya Krendy. Eneng menggeleng.
“Nggak! Sebentar lagi kok. Tuh di depan,” tunjuknya pada sesuatu yang
terletak agak jauh di depan kami. Aku menyipitkan mata untuk memfokuskan
pandangan. Tidak begitu jelas apa yang ditunjuk Eneng. Sejauh mata memandang
hanya jajaran pepohonan yang tampak diselingi oleh hamparan sawah menghijau.
“Eh, berhenti dulu yuk! Lapar nih,” ujar Iqbal. Ia lalu mengajak kami
menghampiri sebuah areal sawah. Dari ranselnya ia lalu mengeluarkan segulung
senar. Aku mengerutkan dahi. Mau apa sih anak ini? Krendy yang paham maksud
Iqbal segera membantu.
“Ngiringan ngala belut nya Bu!” seru mereka kepada seorang ibu petani
yang sedang bekerja di sana. Ia mengangguk tanda tak keberatan. Dengan
hati-hati Iqbal memasukkan senar pancing yang sebelumnya telah digantungi
cacing ke dalam lubang belut yang ditemukannya di lumpur sawah. Aku, Pak Ahmad,
dan Eneng memperhatikan dari tepi sawah. Beberapa saat kemudian senar pancing
tampak menegang. Iqbal nampak kerepotan menariknya. Maklumlah, belut adalah
hewan yang kuat. Ia tidak mudah menyerah bila ditarik keluar dari sarangnya.
Gugun membantu. Ia turut menarik pangkal senar sambil melangkah mundur.
“Kena! Gol!” Iqbal bersorak ketika seekor belut besar tertarik di
ujung senar. Kami yang menonton di tepi sawah bersorak dan bertepuk tangan.
Namun belut itu masih meronta dengan liar sehingga Gugun kehilangan keseimbangan
dan terjatuh ke lumpur. Selanjutnya Eneng menyiapkan api dan kamipun memanggang
belut itu beramai-ramai. Rasanya sangat gurih. Kami menikmatinya di tepi sawah
dengan nasi yang dibawa dari rumah Eneng. Sementara kami menikmati belut
panggang itu dan juga pemandangan di sekeliling ibu petani yang tadi kami sapa datang
menghampiri. Ia wanita setengah tua yang berpakaian sederhana. Beberapa saat
lamanya ibu itu mengobrol dengan Eneng seakan sudah kenal dekat. Itu tidak
mengherankan. Desa ini adalah desa kecil sehingga penduduknya saling mengenal.
Tidak lama kemudian sang ibu petani berpamit dengan ramah dan melangkah pergi
ke arah berlainan. Tetapi aku lalu
melihat raut muka Eneng berubah seperti orang bingung.
“Kenapa Neng?” tanyaku. Eneng kemudian bercerita tentang apa yang
didengarnya dari ibu petani tadi. Katanya akhir-akhir ini banyak hewan liar
yang merusak sawah para petani. Beberapa orang curiga bahwa hewan-hewan itu
semula tinggal di lereng-lereng Tangkubanparahu sehingga muncul kekhawatiran
bahwa mereka turun karena Tangkubanparahu mulai aktif. Namun itu hanya dugaan
segelintir orang saja. Melihat suasana di sekitar kami yang tenang-tenang saja
rasanya mustahil hal seperti itu bisa terjadi. Sudah sejak lama Tangkubanparahu
yang menjulang di sebelah selatan Subang itu tidak menunjukkan tanda-tanda yang
mengkhawatirkan.
“Menurut kalian kita jadi nggak ya ke sana? Aku takut, jangan-jangan
dugaan itu benar,” tanya Eneng sambil menoleh ke arah Pak Ahmad, Krendy, Iqbal,
dan Gugun.
“Terus aja Neng!” jawab Krendy bersemangat. “Kan belum tentu seperti
itu. Mungkin aja hewan-hewan turun gunung karena pengen cari suasana baru.”
Kami hanya tertawa menanggapi pendapat Krendy yang diucapkan sambil
bergurau itu. Kamipun melanjutkan perjalanan. Tidak terhindarkan lagi bagian
bawah pipa celana kami basah terkena embun yang menempel di rerumputan yang
terinjak. Tidak jarang pula kami harus menghindari
bebatuan dan genangan air yang terkadang muncul menghalangi langkah kami. Gua
yang kami tuju sudah semakin dekat. Dari tempat kami gua itu terlihat gagah dan
angker di antara rerimbunan pohon dan semak yang tumbuh tidak beraturan. Tanpa
berkata apa-apa kami berenam berlomba memasuki lorong batu raksasa itu. Untuk
mencapai mulut gua kami harus menempuh lereng yang lumayan terjal. Dengan
saling membantu akhirnya kami tiba juga di mulut gua. Aku diam mengatur napas
yang tersengal karena mendaki lereng tadi. Mataku mengamati keadaan gua itu.
Alangkah hebatnya ciptaan Tuhan ini. Terlihat kokoh dan megah sehingga siapapun
yang melihatnya dari dekat pasti akan terkesan.
“Kenapa Chan? Ayo masuk!” ujar Krendy seolah mengajakku bertandang ke
rumahnya sendiri. Ia lalu masuk ke dalam gua dengan diikuti oleh ketiga cowok
yang lain. Aku tidak mau cepat-cepat. Kuajak Eneng berjalan perlahan untuk
menikmati pemandangan stalaktit –stalaktit aneka bentuk dan ukuran yang
bertonjolan keluar dari langit-langit gua. Ada pula stalaktit yang sudah hampir menyentuh
ujung stalagmit di bawahnya sehingga nampak seperti tiang batu berbentuk unik. Bukan
itu saja. Aneka bentukan lain bebatuan hasil pahatan alam memanjakan mataku.
Sungguh sayang untuk dilewatkan. Sementara itu suara kawan-kawan kami semakin
terdengar jauh pertanda mereka telah masuk jauh ke dalam gua. Tidak jauh di
depanku Eneng asyik memotret berbagai pahatan alam yang fantastis itu.
Samar-samar telingaku menangkap sesuatu yang terasa aneh. Suara itu
terdengar sangat pelan. Nyaris tidak terdengar di antara suara jepretan kamera
ponsel, suara percakapan para cowok yang entah ada di mana di perut gua yang
panjang itu, dan juga tetesan-tetesan air yang berasal dari sungai bawah tanah
yang terletak di suatu tempat di perut gua.
“Tunggu sebentar Neng,” ujarku pada Eneng yang langsung berhenti
memotret dengan raut muka bertanya. Aku diam dengan memasang telinga secermat
mungkin. Tidak salah lagi. Suara itu seperti suara derum samar yang nyaris saja
tidak terdengar karena lirihnya. Mendadak aku terkejut ketika ingatan tentang
ibu petani yang menghampiri kami di sawah tadi melintas di benakku. Masya
Allah! Jantungku langsung berdebar kencang. Kuharap ini bukan tanda-tanda aktifnya kembali
Gunung Tangkubanparahu. Eneng berteriak ketika bumi mulai bergetar. Bebatuan di
atap gua mulai retak. Retakan itu dengan cepat menjalar ke bagian-bagian lain.
Bebatuan besar dan kecil mulai berjatuhan. Kudengar para cowok di dalam mulai
berteriak-teriak panik. Eneng menarik lenganku, setengah menyeretku keluar gua.
Untunglah kami berdua belum jauh masuk ke gua sehingga dapat cepat-cepat
keluar. Kami berlari keluar sementara bongkahan-bongkahan batu semakin banyak
berjatuhan. Aku mencoba berteriak sekuat suaraku untuk memanggil kawan-kawan yang
masih di dalam. Suara mereka sudah tak bisa kudengar lagi karena tertutup suara
gemuruh dan bebatuan yang berdebam.
“Mbak, awas!” Eneng berteriak ketika stalaktit di atas kepalaku mulai
lepas. Aku berkelit tepat pada waktunya yaitu pada saat batu besar itu jatuh
menumbuk lantai dan menimbulkan getaran yang memicu runtuhnya bagian-bagian
lain dari gua itu. Untung sajaEneng cepat menarikku. Tidak terbayangkan
bagaimana jadinya jika kepalakulah yang tertumbuk batu yang beratnya tidak
mungkin kurang dari dua puluh kilogram itu. Dengan kepanikan yang makin
melonjak kami berusaha menuruni lereng untuk menjauhi gua. Udara kini penuh
debu yang berasal dari hancuran batu.
“Gun! Krendy! Iqbal!” Eneng masih berusaha memanggil kawan-kawan kami.
Suaranya makin histeris. Aku tidak sanggup berkata apa-apa karena napasku yang
tersengal-sengal karena panik. Tidak terbayangkan olehku nasib keempat kawan
kami yang lain. Mendadak kulihat sesosok tubuh berlari keluar dari gua dengan
gerakan seperti kelinci ketakutan. Ia berlari dengan sangat cepat tanpa
memperhatikan jalan sehingga ia terjatuh di lereng terjal yang terletak di
depan mulut gua. Ia terguling-guling. Tangannya meraba-raba mencari pegangan.
Untunglah lereng itu tidak tinggi sehingga sebentar saja aku sudah dapat
melihat siapa dia. Ternyata dia Iqbal. Kulitnya penuh luka goresan dan lebam
serta wajahnya penuh debu. Pakaiannya robek di berbagai tempat. Sekejap
kemudian banyak orang yang berdatangan. Rata-rata mereka petani yang sedang
bekerja di sawah ketika gempa terjadi. Mereka
segera menolong kami. Sebagian mencari Pak Ahmad, Krendy, dan Gugun di antara
reruntuhan batu yang menutup mulut gua. Di antara orang-orang yang datang
kulihat orang tua Eneng. Mereka berjalan tergesa-gesa menuju ke arah kami.
“Eneng teu nanaon?” tanya ibu Eneng dengan suara khawatir. Ia lalu
memeluk putrinya dan mengajak kami pulang. Aku ragu sejenak. Namun Eneng tampak
tidak setuju dan berkata kepada ibunya bahwa kawan-kawan kami masih di dalam.
Seseorang lain yang tidak kukenal menimpali percakapan kami. Menurutnya kami
lebih baik pulang saja untuk beristirahat dan merawat luka-luka Iqbal.
Mendadak terjadi lagi keributan
di mulut gua. Tanpa menghiraukan ibu Eneng yang berteriak mengajak kami pulang
aku dan Eneng berlari ke arah datangnya suara sambil menyeruak kerumunan
orang-orang yang juga menuju ke arah yang sama. Hati kami dipenuhi kecemasan.
Berita baikkah yang akan kami jumpai di sana ataukah sebaliknya? Dari
percakapan yang kami dengar ternyata ketiga kawan kami ditemukan. Namun aku
belum sempat melihat keadaan mereka ketika mendadak semua gambaran di depan
mataku menghilang
“Buk!” Kurasakan pahaku seperti ditepuk dengan keras. Aku gelagapan.
Suasana berubah total.
“Chan, bangun! Shalat subuh!” Terdengar suara ibuku. Dengan linglung
aku duduk. Aku berada di atas tempat tidurku sendiri dan dikelilingi oleh
bantal-bantal dan boneka macan kesayanganku. Astaga, ternyata aku hanya
mimpi!!!