Mata Hatiku

Hai! Namaku Chrysanova. Selamat datang dib log Mata Hatiku. Blog ini dibuat untuk menampung beberapa tulisanku sekalian buat “pamer”,hehehe. Buat kalian yang udah repot-repot datang,kenapa nggak kalian sumbangin komentar biar ke depannya kita semua bisa nikmatin cerita yang lebih bagus di sini. OK,segitu aja dari aku. Selamat membaca ya. Thanks a lot.

Guest Book

click here to fill it

Sabtu, 08 Januari 2011

Cahaya di Dunia Baruku


Hai! Ketemu lagi dengan Chrysanova. Kali ini saya akan bercerita mengenai latar belakang kedatangan saya ke dunia tunanetra atau lebih tepatnya low vision. Saya mulai mengalami gangguan pada penglihatan sekitar tujuh tahun yang lalu saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama kelas tiga. Pada penghujung masa SMP ku itulah banyak hal yang terasa tidak biasa. Terutama menjelang ujian akhir nasional. Aku mulai kesulitan melihat soal-soal try out. Namun hal itu tidak berlangsung terus menerus. Adakalanya aku bisa melihat dan membacanya dengan jelas namun mendadak soal-soal itu akan hilang dari pandangan sehingga hanya menyisakan kertas putih kosong yang beberapa saat kemudian akan terisi kembali seperti sediakala. Pada mulanya aku tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang aneh. Aku hanya menganggap bahwa aku kurang teliti saja dalam membaca, suatu proses yang wajar pada anak-anak seusiaku waktu itu. Aku juga menduga hal tersebut sebagai dampak dari stress menjelang ujian sehingga mata yang lelah setelah begadang sambil belajar kehilangan focus selama sesaat. Bukankah semua hal itu biasa saja? Singkatnya hal itu tetap terabaikan hingga tahun pertamaku di sekolah menengah atas. Aku semakin sering mengalami hal tersebut dan keseimbangan tubuhku juga makin tidak beres sehingga aku semakin sering jatuh. Di jalan, di rumah dan yang paling membuatku malu adalah di kelas, di depan mata semua teman sekelas yang kesemuanya awas. Saat itu karena banyaknya buku yang harus kubawa maka aku menggunakan tas besar yang cukup berat.  Semula aku tidak mempedulikan beratnya karena perjalanan dari rumah ke sekolah kutempuh dengan angkutan kota. Turun dari kendaraan umum tersebut aku membawa tas tersebut ke kelas yang terletak di seberang lapangan upacara. Keseimbangan tubuhku yang terganggu menyebabkan aku kesulitan untuk berjalan dengan benar hingga tiba di kelas aku langsung tersungkur di lantai. Teman-temanku yang melihat kejadian itu segera menolong. Yang cewek menuntunku dan yang cowok membawakan tasku ke meja. Untung belum ada guru yang masuk ke kelasku pada waktu itu.

Pernah pula aku jatuh dari angkutan kota. Penyebabnya sama, kesulitan berjalan karena memanggul tas berat berisi buku-buku yang ukurannya juga tidak kecil. Saat itu angkutan sudah berhenti dan aku hendak turun. Tapi lagi-lagi kakiku mendadak terasa lemas sehingga tidak mampu menopang berat tubuhku plus tas yang kugendong di punggung. Akibatnya bisa ditebak. Aku terhempas ke aspal dengan wajah lebih dulu. Tidak perlu kujelaskan detailnya, pokoknya wajahku babak belur terhantam aspal keras yang kasar dan dihiasi kerikil di sana-sini.  Para penumpang lain yang melihat aku jatuh segera menolong. Mereka lalu mencarikan angkutan lain yang menuju kea arah rumahku dan membantuku naik ke dalamnya. Bapak supir angkutan umum yang baik hati pun mengantarku sampai di depan rumah, tidak di perhentian biasanya. Sejak itu orangtuaku memutuskan untuk mengantarku setiap pergi ke sekolah. Aku tidak lagi naik kendaraan umum.

Aku mulai absen dari sekolah kira-kira beberapa minggu setelah Idul Fitri tahun itu. Kepalaku yang mulai terasa sangat sakit memaksaku hanya berbaring di tempat tidur tanpa bersedia mengangkat kepala dengan sukarela apabila tidak terdorong rasa lapar ataupun ingin ke belakang. Penglihatanku yang makin buruk membuat orangtuaku memutuskan untuk membawaku ke dokter mata. Setelah melihat keadaanku yang tidak hanya bermasalah dengan mata sang dokterpun menyarankan agar aku berkonsultasi ke dokter spesialis bedah syaraf yang pernah menanganiku dulu, saat tumor yang bercokol di otakku mengacau pada saat usiaku Sembilan tahun. Mendengarnya, aku sempat ketakutan. Bayangan jarum-jarum infuse, kabel,selang dan berbagai peralatan lain bahkan lebih mengerikan bagiku daripada film-film horror yang pernah kutonton. Tapi apa boleh buat, tidak ada pilihan lain selain melaksanakan saran itu. Setelah bolak-balik difoto dengan MRI dokter bedah syaraf memutuskan bahwa aku harus menjalani operasi karena tumor yang bersarang di otakku mengeluarkan cairannya sendiri yang jauh lebih pekat daripada cairan otak sehingga cairan tumor tersebut mendesak syaraf penglihatan hingga tidak berfungsi baik.

Aku pun menerima keputusan itu walaupun tidak dengan senang hati. Namun aku berusaha sedikit mengobati ketakutanku dengan membayangkan bahwa setelah operasi penglihatanku akan pulih seperti semula sehingga aku dapat kembali membaca buku-buku sebagaimana kegemaranku.  Namun mimpi tinggallah mimpi.  Kekecewaan menghantam ketika harapanku tidak juga terwujud kala aku tersadar sepenuhnya dan mendapati dunia di sekitarku tidak Nampak jelas.  Itu berarti aku tidak dapat lagi membaca untuk mengisi waktu. Aku mulai merasa tidak berdaya. Tidak ada yang bisa kulakukan. Hari-hari yang kuhabiskan di rumah sakit setelah operasi itu amat membosankan.  Tindakan medis yang meninggalkan bekas jahitan di belakang kepalaku itu berhasil mengangkat cairan tumor yang mengganggu itu. Tumor yang menjadi teroris sejati di dalam tubuhku tidak diangkat karena setelah mempertimbangkan letaknya yang melekat di otak kecil dokter khawatir jaringan-jaringan di sekitarnya akan terganggu bila tumor itu diangkat hingga ke akar-akarnya.

Namun masalahnya tidak berhenti sampai di situ. Penglihatanku kini tidak bisa berfungsi normal. Saat pulang ke rumah pun aku merasa seperti berjalan ke sebuah dunia lain yang sangat asing. Penyesuaian diri dalam keadaan itu tidak berlangsung dengan mudah. Keadaan itu terasa semakin berat saat kusadari aku perlahan mulai kehilangan teman-temanku yang terbelit kesibukan masing-masing. Saat itu aku harus menerima bahwa kesepian dan kegelapan menjadi teman sejatiku. Orang tuaku yang sangat prihatin melihat kondisiku mulai membawaku berobat ke mana-mana. Dokter sudah mengatakan bahwa secara medis mereka sudah bertindak semaksimal mungkin sehingga kami hanya tinggal menunggu tubuhku memulihkan dirinya sendiri. Semua butuh proses, kata beliau. Aku paham namun tidak sepantasnya kami berdiam diri. Bertahun-tahun kami mencari pengobatan lewat jalur alternative namun tidak juga ada hasilnya. Pada akhirnya aku lelah dengan usaha itu. Aku menyadari bahwa aku ingin belajar. Belajar apa saja yang mampu masuk ke kepalaku karena hidupku masih panjang. Aku ingin melakukan hal yang bermanfaat sambil memberi kesempatan pada tubuh untuk melakukan pemulihan.

Kini aku benar-benar bersyukur atas langkah yang kutempuh ketika itu. Aku mempelajari berbagai pengetahuan yang diperuntukkan bagi tunanetra. Hal-hal itu benar-benar baru bagiku. Aku kini menganggap dunia baruku yang gelap ini sebagai dunia baru yang menantang kreativitas siapapun yang memasukinya.  Selalu ada jalan untuk meraih tujuan, dan yang terpenting kini aku tidak sendirian. Banyak teman yang senasib dan kami tidak merasa kegelapan ini sebagai halangan untuk menikmati hidup. Dengan apa yang kami miliki hidup terus berjalan. Aku pun dapat terus belajar dan mendapatkan hal-hal baru yang tidak kuketahui saat penglihatanku masih terang. Kini aku merasakan bahwa terang yang sebenarnya bukan hanya terang di mata, melainkan terang di dalam hati. Demikianlah kini hidupku kembali bersinar dengan cahaya harapan yang mengiringi setiap langkahku. Cahaya bukan hanya milik mereka yang tidak memiliki masalah dengan penglihatan. Kita para tunanetra pun dapat melihatnya terbit dan bersinar terang di dalam hati berupa semangat dan harapan yang tak pernah padam.